SEKOLAH GENGSI

Mas Karno hanya seorang guru pada sebuah sekolah menengah pertama (SMP) di lereng pegunungan Batur, Banjarnegara. Setiap hari ia berangkat dengan motor untuk menempuh jarak sekitar 45 km. dari rumah ke tempat mengajar. Ini wajib dilaluinya karena ia memang memilih tinggal di rumahnya yang terletak di tengah kota Banjarnegara.

Setiap perjalanan dinikmati Mas Karno dengan senyum. Tak ada perasaan kecewa atau sedih, marah atau jengkel. Padahal, jalanan yang mesti dilalui bukan jalanan yang rata dan biasa. Sepanjang jalan Banjarnegara-Batur merupakan jalan terjal yang berbukit dan berkelok. Tidak sembarang orang bisa tahan dalam medan yang demikian untuk mengajar. Yang tidak tahan, maka buru-buru mereka mengajukan permintaan pindah mengajar dengan berbagai macam alasan.

Mas Karno sangat menghayati profesinya sebagai seorang pendidik meskipun dia bukan lulusan ilmu pendidikan dan keguruan. Warisan dari ayah dan ibu yang merupakan pensiunan pendidik tanpa disadarinya telah menurun kepadanya. Hal yang membuat senyumnya kerap pudar dan bahkan hatinya galau adalah kenyataan bahwa niat baik dan ketulusan hati untuk mendidik di sebuah sekolah yang terpencil tidak selalu seiring dengan respon positif dari masyarakat.

”Bukan perkara mudah mengajar di tempat-tempat yang jauh dari kota. Niat dan semangat besar seringkali harus bertempur dengan kesederhanaan masyarakat. Kesederhanaan dalam segalanya. Ya pola pikirnya, ya ekonominya, ya kehidupan sosialnya, ” kata Mas Karno kepada saya tempo hari. Suaranya merupakan sebuah penjelasan, tapi nadanya mirip keluhan.

”Berarti setiap guru di sana dituntut kreatif….” kata saya.

”Kreatif…? Kami sudah melampaui itu, ” potong Mas Karno cepat. ”Kalau orang bicara kreatif, maka mereka hanya berkutat pada aspek pengajaran semata. Kami lebih dari itu. Kami harus kreatif dalam mengajar para siswa di kelas, kreatif dalam membangkitkan semangat belajar, juga kreatif dalam menjalin hubungan dengan orang tua siswa didik.”

”Pasti berhasil?”

”Tidak selamanya. Bahkan lebih sering gagal.”

”Berarti kamu dan teman-teman mesti melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Bu Muslimah terhadap anak-anak di Belitong,” saran saya yang tiba-tiba teringat dengan sepak terjang nan mulia dari seorang ibu guru bernama Muslimah dalam novel Andrea Hirata yang memikat, ”Laskar Pelangi”.

Mas Karno tertawa. Tapi, saya tahu, tawanya nyinyir. Sinis.

”Ini bukan persoalan fiksi, ini fakta. Kenyataan! Kalau fiksi, semua masalah bisa diselesaikan oleh seorang pahlawan yang sengaja diciptakan. Laskar Pelangi butuh pahlawan pada diri seorang guru yang bernama Ibu Muslimah dan siswa semacam Lintang atau Ikal. Kalau fakta, lain. Dalam fakta pendidikan di Batur, misalnya, seorang pahlawan hanya menjadi sisi lain dari sebuah pergulatan nasib yang terus-menerus, tanpa pernah berhenti, dan seolah tanpa selesai.”

”Seseorang dengan semangat, pengabdian, dan kasih sayang macam Bu Muslimah pun akan gagal di Batur?”

”Saya tidak menyimpulkan seperti itu. Tapi, persoalan pendidikan di negeri kita, terutama di wilayah-wilayah pelosok dan terpencil, bukan semata masalah siswa didik atau guru. Ada persoalan kultur dan struktur dalam masyarakat di pelosok yang harus dibenahi agar anak-anak atau guru tidak menjadi kambing hitam dari kegagalan pendidikan di sekolah.”

”Ah, masa seberat itu masalahnya…” cetus saya seperti tidak percaya dengan segala penjelasan Mas Karno itu.

Mas Karno kembali tersenyum nyinyir. Ia seolah menyindir kebodohan saya.

”Sekolah itu penting. Tapi, sepenting apakah sekolah ketika ia malah dinilai gagal menyediakan perangkat yang cukup bagi produknya (anak didik) untuk mengisi ceruk-ceruk kemajuan dan kemanusiaan. Anak-anak tak mampu menjadi pelopor, mereka lebih siap menjadi beban. ”

Saya menyimak dalam-dalam ucapannya.

”Sekolah itu bermanfaat. Namun, semanfaat apakah sekolah itu bila faktanya ia dinilai telah mengikis secara perlahan keluhuran budi anak-anak desa yang halus nan lugu. Mereka malas pergi ke huma dan mereka risih berayahkan petani. Mereka tidak lagi siap hidup dan mati di desa.”

Saya paham, sekolah di masa kini telah menciptakan gengsi baru di daerah-daerah pelosok. Gengsi akan wawasan dan pengetahuan. Gengsi akan status sebagai ”orang-orang sekolahan”. Namun, kala gengsi itu menggerus dirinya, maka anak-anak di desa lebih siap menjadi tukang ojek yang nongkrong di atas sepeda motornya dibanding memegang pacul dan arit untuk menjadi petani. * * *

Leave a comment