PENGUNGSI-PENGUNGSI DI NEGERI SENDIRI

map-indonesiaPerkataan pengungsi pernah akrab di telinga kita pada saat menjelang tahun 1980-an. Kala itu, banyak media ramai memberitakan imbas masalah perang saudara di Vietnam. Ribuan pengungsi Vietnam yang terkenal sebagai “manusia perahu” masuk ke wilayah tanah air sebagai akibat konflik berdarah itu.

Pemerintah tanggap dengan situasi politik dan kemanusiaan ketika itu. Pulau Galang (Kepulauan Riau) lalu dijadikan tempat berdiam para pengungsi sebelum mereka dikirim ke negara ketiga. Pulau Galang menjadi bukti keberhasilan bangsa ini dalam menangani masalah pengungsi Vietnam bersama lembaga internasional lain.

Siapa nyana, perkataan pengungsi kembali akrab di telinga kita. Bukan pengungsi dari Vietnam (lagi), Timor Leste (negeri yang sedang dilanda konflik), atau negara tetangga lain. Pengungsi-pengungsi itu berasal dari negeri sendiri! Bangsa sendiri!

Mereka berduyun-duyun datang dari Porong, Sidoarjo (lumpur panas) dan korban gempa Tasikmalaya beberapa waktu lalu. Sebelumnya, tsunami Aceh dan gempa Yogya juga menimbulkan pengungsi. Belum lagi kasus rusuh sosial, seperti Ambon, Poso, dan Sampit.

Berbeda dengan pengungsi lintas batas (refugee) yang menjadi tanggung jawab dunia internasional untuk menanganinya, pengungsi di negeri sendiri atau biasa disebut pengungsi internal (internal displaced person) “hanya” menjadi tanggung jawab negara itu untuk mengatasinya. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) tidak wajib menanganinya karena hal itu belum menyangkut masalah hubungan government to government (G to G).

Meskipun demikian, bukan berarti nasib pengungsi internal lebih baik daripada pengungsi lintas batas. Malah sering sebaliknya, ketidakterlibatan lembaga internasional justru membuat pengungsi internal lebih sengsara nasibnya. Apabila pengungsi lintas batas mendapat perlindungan atas hak-haknya dengan dasar hukum dan konvensi internasional yang kuat, maka pengungsi internal sama sekali tidak.

Hingga sekarang belum ada instrumen internasional yang secara fasih mampu melindungi nasib pengungsi internal. Konvensi Geneva yang biasanya dapat digunakan sebagai instrumen, nyatanya hal itu masih sulit dilakukan. Padahal pengungsi internal kerap terperangkap dalam situasi konflik yang berkepanjangan tanpa bisa mendapatkan rasa aman dan tempat nyaman.

Bahkan hanya sekadar terpenuhi hak-hak dasar pun masih perlu dipertanyakan. Apakah para pengungsi di Porong, Aceh, Tasikmalaya, dan tempat lain sudah memperoleh cukup bahan pangan dan air bersih? Sudahkah mereka bernaung di tempat yang layak? Bagaimana dengan sandang mereka? Apakah layanan kesehatan dan sanitasi sudah didapatkan? Bagaimana dengan nasib anak-anak? Bagaimana pendidikan mereka?

Dalam konteks kondisi pengungsi internal, kecakapan negara dalam mengatasi persoalan yang muncul merupakan sebuah keharusan. Apalagi, PBB sudah memberikan warning yang jelas kepada pemerintah bahwa negara kita berada di peringkat teratas dalam daftar negeri-negeri yang sedang menghadapi masalah dengan pengungsi internal.

Karena itu, negara harus mampu memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling dipercaya oleh para pengungsi internal untuk melindungi dan menangani segenap penderitaan yang dialami. Negara tidak sebatas berfungsi sebagai fasilitator bagi seluruh kesulitan yang diderita para pengungsi pada saat berada di tempat pengungsian. Tetapi, yang lebih penting lagi, negara mesti melakukan tindakan pemulihan (recovery) yang bersifat menyeluruh sehingga pengungsi internal bisa secepatnya kembali ke tempat semula.

Negara bahkan tak semestinya “meninggalkan” para pengungsi internal bergulat dengan kesusahannya meskipun dalam batas-batas tertentu mereka sebenarnya mampu untuk survive. Kemampuan para pengungsi untuk survive justru seharusnya membuat malu setiap aparatur negara sehingga memicu mereka untuk menciptakan strategi penanganan pengungsi yang lebih arif dan manusiawi. Karena itu, keharusan negara untuk menciptakan agenda penanganan pengungsi internal secara mendasar dan komprehensif tampaknya harus segera diwujudkan.

Perlu diingat, detik demi detik mata internasional akan menyoroti kecakapan negara dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan pengungsi internal. Tentu kita tidak perlu takut. Apalagi kita sudah sangat “berpengalaman” dalam penanganan masalah pengungsi internal tersebut. Bukankah imbas dari kasus kerusuhan sosial di Ambon, Sampit, Poso, dan tempat-tempat lain, yang meninggalkan ribuan pengungsi internal sudah bisa kita selesaikan? * * *

2 Responses

  1. aku suka sekaliiiiiiiiiiii membaca buku

Leave a reply to noorma Cancel reply