PKS: BERHIMPUN UNTUK BERPECAH?

Saya kini semakin meyakini bahwa konflik bukanlah barang baru bagi partai politik Islam atau parpol yang berbasis massa muslim. Bahkan konflik seolah telah menjadi senyawa yang susah untuk dipisahkan dari parpol Islam. Di mana ada parpol Islam, pastilah di situ ada konflik.

Entah saking jengah atau malah kritisnya terhadap partai politik Islam, Jalaluddin Rakhmat yang ahli komunikasi asal Bandung, pernah melontarkan argumennya bahwa parpol Islam adalah kekuatan yang dilahirkan untuk berhimpun untuk kemudian berpecah.

Pernyataan intelektual yang biasa disapa Kang Jalal itu tidak keliru. Jika kita melihat sepak terjang politik Islam sepanjang abad ke-20 hingga masa Reformasi di awal abad ke-21, jelas bahwa parpol Islam kenyang dengan pengalaman konflik. Mereka bahkan menjadikan konflik ibarat dua sisi mata uang yang berkebalikan dengan niat persatuan. Jargon “konflik yes, persatuan no” mungkin cocok disematkan ke parpol Islam.

Drama yang dimainkan partai politik Islam dari mulai Syarikat Islam (SI), Masyumi, NU, Parmusi, PPP, PAN, PKB, PBB, hingga PBR telah menjadi bukti. Mulanya ide dasar persatuan menjadi kerangka awal dalam menapaki jalan menuju sebuah partai besar. Tokoh-tokoh partai saling bergandengan tangan demi cita-cita mulia, yakni kebesaran dan kemulaiaan Islam.

Seiring beredarnya waktu, beragam konflik kepentingan mulai tumbuh. Karena tak juga menemui titik temu, maka konflik gagal untuk diresolusikan. Apalagi persoalan eksternal kemudian mulai mempengaruhi. Alhasil, parpol Islam lalu menjadi bukti perjalanan politik Islam yang selalu disusupi problema internal dan eksternal.

Indonesianis asal Australia, Lance Castles dalam sebuah kesempatan pernah menyebut bahwa sejarah politik Islam Indonesia bisa ditafsirkan sebagai pendulum swing antara dua kutub. Kutub pertama adalah pihak penyatuan dengan harapan kemenangan yang sudah dekat, sedangkan kutub lain adalah tetap berlangsungnya perpecahan dan pertikaian berikut kelemahan-kelemahannya.

Kalau parpol Islam yang lain sudah ketiban konflik, kini giliran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mengalaminya. Siapa sangka partai Islam yang bersemboyan “Bersih, Peduli, Profesional” itu harus terkena kutukan nasib layaknya partai-partai Islam lain. Hanya gara-gara Yusuf Supendi yang mantan Pendiri dan anggota Dewan Syariah, maka kini PKS terancam menjadi partai yang terbelah.

Kita belum tahu pasti kebenaran berita yang dibawa mantan petinggi PKS Yusuf Supendi tentang isu-isu, seperti konsepsi partai terbuka, poligami, dan korupsi yang dilakukan oleh para elit PKS. Namun, pro kontra di dalam partai berlambang bulan sabit kembar yang diselipi untaian padi tegak lurus itu tak lagi menjadi ranah privat, melainkan mulai menyembul ke ranah publik.

Ditengarai bahwa soliditas partai yang lahir dari pergerakan Tarbiyah itu sebenarnya tidak seperti yang dibayangkan selama ini. PKS juga sangat rawan konflik yang tak mudah diselesaikan. Di dalam diri PKS -paling tidak- muncul dua faksi yang terus bertentangan sepanjang kehadiran PKS sebagai sebuah partai. Ada yang menyebutnya faksi keadilan dan kesejahteraan, ada faksi ideologis dan pragmatis, bahkan ada pula yang menyebutnya sebagai faksi tua dan muda.

Tah hanya itu, tak sedikit para analis politik menyeret faksi-faksi itu ke dalam peta konflik yang melibatkan unsur tokoh-tokohnya. Ustadz Hidayat Nurwahid, Salim Segaf al Jufri, dan Surahman Hidayat disebut-sebut merupakan representasi dari faksi keadilan atau ideologis. Sebaliknya, Ustadz Hilmi, Anis Matta, Mahfudz Siddiq, dan Fahri Hamzah disebut sebagai pengusung faksi pragmatis atau kesejahteraan. Masing-masing faksi memiliki kecenderungan pemikiran sendiri-sendiri.

Konflik di tubuh partai “jelmaan” Ikhwanul Muslimin di Indonesia yang dipicu “ulah” Yusuf Supendi memang tidak bisa ditebak bagaimana akhirnya. Tapi, sungguh sangat disayangkan jika PKS tidak memiliki mekanisme resolusi konflik yang memadai untuk menyelesaikan persoalan yang muncul di lingkup internal. PKS tidak bisa berkelit bahwa persoalan Yusuf Supendi sudah lama diselesaikan lewat mekanisme aturan partai, dan -apalagi- Yusuf Supendi sudah dipecat dari partai.

Justru persoalannya adalah mekanisme pemecatan partai yang dinilai tidak adil dan tidak bijak sehingga Yusuf Supendi bisa lantang berkoar-koar membuka “aib” bekas partainya sendiri. Sebagai partai yang memposisikan dirinya tak ubahnya partai dakwah rasanya sungguh tak layak Yusuf berlaku seperti itu. Selain menabrak etika dalam berorganisasi, Yusuf juga menabrak etika persaudaraan muslim.

Pertanyaannya, kenapa Yusuf Supendi nekad berlaku tak layak seperti itu? Bukankah ia sangat paham dengan akhlak Islam dan etika dalam sebuah organisasi politik semacam PKS?

Kasus Yusuf Supendi -konon- hanyalah satu “buah busuk” dari beberapa “buah busuk” yang kini sedang dihasilkan oleh pohon besar bernama PKS. Pendirian Forum Kader Peduli (FKP) yang kabarnya dipelopori oleh beberapa mantan pendiri PKS yang kecewa terhadap arah partai, seperti Dr. Daud Rasyid, Dr. Ahzami Samiun Jazuli, Ust. Abu Ridho, dan Ust. Mashadi menjadi sisi lain yang mesti pula diselesaikan andai PKS tak mau terjerembab ke dalam politik belah bambu.

Meski demikian, sejatinya, dalam konteks partai Islam, PKS kini telah menjadi semacam test case dalam kaitannya dengan resolusi konflik di tubuh internal partai. Andai berhasil mengatasi persoalan, tentu PKS akan menjadi medium pembelajaran bagi partai-partai lain dalam menangani “dapurnya”, bahkan mungkin tidak hanya parpol Islam. Sebaliknya, jika gagal, maka PKS akan mengikuti catatan sejarah yang telah ditulis partai-partai Islam lain; kaya konflik, tapi miskin resolusi konflik. * * *

Sumber gb: http://i486.photobucket.com/albums/rr230/suarakeadilan-kotacrb/Logo/PKS-1.jpg

2 Responses

  1. ane bkn org PKS, tp ane cnta org2 yg mmprjuangkan islam lwt PKS. Prpecahan sih biasalah/sunatullah dlm islam, bagus malah smakin brwarna islam ini, alhamdulillah. yg jangan sih org yg buka2 aib “si anu tuh poligami”. mmg knp klo poligami? mski ane krg s7 dg poligami, tp poligami tu kagak haram bos. y gk?

  2. kini (2014) terbukti PKS tetap solid. yang memfitnah malah kebingungan, mau bikin partai baru ga punya pengikut, akhirnya masuk partai yang “………….”

Leave a comment