OBAMA, OSAMA, DAN….. OZAWA!

Osama bin Laden tewas! Begitu sepenggal berita yang diwartakan  oleh Presiden AS Barack Obama pada Minggu (1/5/2011) malam waktu AS (Senin pagi WIB), dalam pidato televisi yang disiarkan langsung. Osama tewas dalam penggerebekan pasukan elit AS, SEAL Team (ST) 6 pada Senin (2/5/2011) dini hari waktu Pakistan di sebuah rumah di kota Abbottabad, Pakistan.

Pasukan ST 6 hanya membutuhkan waktu 40 menit untuk melumpuhkan Osama. Mereka berhasil menembak Osama tepat di kepalanya meskipun figur yang disebut sebagai dalang aksi teror di hampir seluruh bagian dunia itu telah menggunakan badan seorang perempuan sebagai tameng. Osama tewas bersama istri muda dan anaknya serta dua kurir beserta keluarganya.

Keraguan terhadap AS

Tewasnya Osama membuat serentak dunia bersorak. Jutaan umat manusia seolah berharap, kematian Osama akan membuat dunia menjadi lebih adil, manusiawi, dan damai. Sebab, siapa lagi biang kerok tidak adilnya dunia, biang kerok tidak manusiawinya dunia, dan biang kerok tidak damainya dunia, selain pria berkebangsaan Arab Saudi yang -konon- penganut paham wahabi itu.

Bagi AS, Osama adalah tokoh di balik serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Amerika Serikat pada 11 September 2001. Serangan dengan menabrakkan pesawat terbang itu meluluhlantakkan bangunan megah WTC dan menewaskan sekurang-kurangnya 3.000 orang. Dunia pun dibuat terhenyak. Namun, dunia juga dibuat bertanya-tanya.

Bagaimana mungkin Amerika Serikat sebagai negara yang memiliki pertahanan terbaik di dunia bisa “disikat” para teroris di depan hidungnya sendiri? Mengapa intelijen AS gagal mendeteksi secara dini hingga serangan mendadak dan tiba-tiba itu akhirnya muncul? Apa sebenarnya yang terjadi di balik persitiwa runtuhnya gedung WTC?

AS tidak berkehendak menjawab keraguan publik. AS justru menuding seorang tokoh bernama Osama bin Laden berada di balik serangan yang tidak berperi kemanusiaan itu. Bersama organisasinya yang bernama Tandzim Al Qaeda, Osama melancarkan serangan teror ke AS. Tapi, dunia lagi-lagi dibuat bertanya-tanya. Siapa itu Osama bin Laden dan apa itu organisasi Tandzim Al Qaeda?

Seperti sebelumnya, AS tidak mempedulikan pertanyaan dan reaksi publik dunia. Osama dan Al Qaeda menjadi tujuannya. Afghanistan yang dituduh menjadi markas Osama dan Al Qaeda digempur habis-habisan sebelum akhirnya dikuasai. Irak yang bertetangga dengan Afghanistan kena imbasnya. Rezim Saddam Husein yang otoriter dituduh menyimpan senjata nuklir dan menjadi bagian dari gerakan teroris dunia. Saddam Husein dijatuhkan dan Irak dikuasai.

AS tak pernah berhenti berusaha memerangi gerakan teroris. Namun, lama kelamaan strategi politik AS mulai ketahuan belangnya. Irak ternyata sama sekali tak memiliki kemampuan untuk membuat peralatan nuklir. Saddam Husein juga terbukti bukan sekutu Osama. Bahkan, Osama mulanya adalah “sahabat” karib keluarga Presiden George W. Bush dalam perkara bisnis minyak. Nyatalah bahwa politik luar negeri AS tak lain hanyalah politik luar negeri yang penuh kebohongan belaka.

Maka, tewasnya Osama bin Laden seperti diwartakan oleh Presiden Obama menjadi tanda tanya besar di benak publik. Apalagi AS secara tergesa-gesa dan dalam waktu 24 jam langsung membenamkan jazad Osama ke laut. Pertanyaan yang menggelitik adalah betulkah Osama bin Laden, tokoh yang dianggap sebagai pentolan teroris dunia benar-benar sudah tewas dalam peristiwa penyerangan di Pakistan itu?

Gedung WTC yang luluh lantak

Kematian yang Kedua?

Salah seorang tokoh yang -mungkin- tidak percaya dengan pernyataan Obama adalah Profesor David Ray Griffin, profesor agama dan teologi di Claremont School of Theology, California (AS). Dalam bukunya yang berjudul Osama bin Laden, Dead or Alive? Griffin berpendapat bahwa Osama sejatinya telah meninggal dunia pada tahun 2001 saat tentara AS membombardir kawasan Pegunungan Tora Bora, yang berada di daerah perbatasan Waziristan.

Seperti diwartakan Koran Tempo, Griffin menunjukkan tiga bukti yang memperkuat teorinya itu. Pertama, 19 Januari 2002, Presiden Pakistan Pervez Musharraf yang diwawancarai CNN telah menyatakan bahwa, “Menurut saya, terus terang saja, dia sudah meninggal sekarang karena penyakit ginjal. Gambar-gambar Osama sebelum ini menunjukkan kondisi fisiknya yang sangat lemah.”

Kedua, Osama menderita penyakit saluran kencing yang berkaitan dengan ginjal jauh sebelum peristiwa 11 September terjadi. “Bahkan dia menjadi pasien rumah sakit Amerika Serikat di Dubai pada Juli 2001,” ujar Griffin. Pada saat itu Osama sudah memesan mesin dialisis (cuci darah) yang mobile untuk dibawa pulang ke Afganistan.

“Bagaimana mungkin seorang buron kakap di pegunungan bersalju yang berat, berpindah-pindah dengan mesin dialisis yang membantu keberlangsungan hidupnya?” ujar Griffin mengutip seorang dokter yang menyatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.

Ketiga, artikel di koran Mesir, Al-Wafid, pada 26 Desember 2001 yang mengutip pernyataan seorang pejabat Taliban senior bahwa Osama telah meninggal dunia dan dikuburkan pada 13 Desember 2001. “Pemakamannya dihadiri sekitar 30 anggota Al-Qaidah,” tulis Al-Wafid.

Jelaslah, tewasnya Osama niscaya akan menyisakan ribuan pertanyaan yang terus bersembunyi di balik benak publik dunia. Ada apa ini sebenarnya? Apalagi, muncul tuduhan bahwa momentum kematian Osama memiliki signifikansi yang erat dengan turunnya reputasi Presiden Obama dalam kaitannya dengan kebijakan politik luar negeri AS yang dinilai lemah dan kurang memiliki bobot.

Meski demikian, AS memang negeri yang patut dijadikan sebagai “contoh” bagi negeri-negeri lain. Karena, jika sudah berbicara mengenai persoalan kepentingan dalam negerinya, AS rela berbuat apa saja, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Bagi pemerintah AS, yang terpenting adalah rakyatnya terpenuhi segala kebutuhan pokok hidupnya sehingga problema kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan tidak dikenal lagi.

Dalam konteks ini, dunia sebenarnya tidak mungkin menjadi lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih damai sepeninggal Osama. Sebagai negara yang paling superior, AS justru tak ragu untuk melakukan praktik kebohongan publik demi kepentingan dirinya sendiri. Akibatnya, tak sedikit orang yang menjuluki AS sebagai teroris yang sesungguhnya yang bahkan lebih berbahaya daripada teroris-teroris yang lain.

Dalam bahasa yang sederhana, strategi kebijakan politik Obama mirip dengan strategi bisnis produser film Ozawa (Maria Ozawa alias Miyabi). Mereka sama-sama menjual sejumlah “kebohongan”. Dari kebohongan itu mereka meraup keuntungan yang jumlahnya berlipat ganda.  Jadi, bagaimana mungkin segala bentuk kebaikan, seperti dunia yang damai, adil, dan manusiawi akan muncul dari balik sebuah kebohongan? * * *

Sumber gb: http://chroniclesofmanu.files.wordpress.com/2010/09/911_wtc.jpg

Leave a comment