“SSSSTTT……SEKSI BANGET YA JILBABNYA?!”

hijab“Jilbabnya seksi ya….?”

Ha?! Jilbab kok seksi? Kalau begitu, apanya ya yang seksi kira-kira; tubuh, mata, atau memang pakaiannya? Tapi, jilbab seksi…. Wow! Andai benar, pasti keren abis.

Agaknya, tak ada perempuan yang tak mau dibilang seksi, bahkan nenek-nenek keriput yang batang usianya sudah di ujung senja. Semua pasti suka saat kata “seksi” disematkan kepadanya. Seksi menjadi mimpi yang ingin diraih oleh setiap perempuan, tak terkecuali perempuan yang taat beribadah sekalipun.

Tubuh Angelina Jolie, akhlak Fatimah putri Rasulullah, begitu idiomnya. Siapa yang tak ingin punya kecantikan dan tubuh nan aduhai seperti bintang kesohor pemeran Lara Croft dalam film Tomb Rider itu? Mungkin hampir tidak ada yang tidak mau. Lalu, siapa yang tak ingin memiliki akhlak mulia seperti halnya perempuan penghuni surga, Fatimah Azzahra, orang yang begitu dirindukan Rasulullah untuk menemaninya di saat ajal datang menjemput.

Kalau pakaian yang dikenakan atas dasar agama mampu menjadikan seseorang seksi, menarik perhatian mata yang memandangnya, pasti tak akan ada yang mau melewatkannya. Ibaratnya, agama sudah membenarkan, orang kemudian memujinya setinggi langit. Benar-benar sempurna rasanya hidup! Namun, bisakah jilbab menjadi “seksi” sehingga orang yang melihat berpretensi sangat tertarik dengan keindahannya?

Seksi dalam pengertian umum kerap dipahami sebagai merangsang birahi pada pandangan mata dan hati akibat tubuh, pakaian, dan sebagainya. Seksi terletak pada mata, itu mulanya. Selanjutnya, mata akan mengantar kata seksi itu ke seluruh otak pikiran kita sehingga disepakatilah seksi itu pada objek benda yang sedang dilihat.

Jilbab, secara harfiah berarti pakaian yang luas atau lapang dan dapat menutup aurat perempuan, kecuali muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangan saja yang ditampakkan. Jilbab adalah bentuk mashdar dari akar kata jalaba yang berarti “membawa” atau “menghimpun”, sedang bentuk jamaknya adalah jalâbîb yang berarti baju kurung yang dapat menutupi seluruh anggota badan.

Imej pada sebagian masyarakat kita jilbab kerap dipersepsikan dengan kerudung penutup kepala. Mengapa demikian? Karena kerudung menjadi langkah akhir dari menutupnya aurat seorang perempuan. Orang yang berkerudung biasanya sudah menutup seluruh tubuh, tangan, dan telapak kakinya. Kebalikannya, meski seluruh tubuh sudah tertutupi, belum tentu seseorang mau menutup rambutnya. Mahkota jeeee…..

Karena itu, orang yang berkerudung meskipun ia hijab menggunakan celana panjang dan baju kaos lengan panjang tetap disebut menggunakan jilbab. Tidak peduli bahwa celana panjang dan kaos yang dikenakan sangatlah ketat sehingga lekuk-lekuk tubuhnya kentara terlihat. Pokoknya, kaki, tangan, tubuh, dan kepalanya sudah tertutup. Selesai persoalan!

Sebaliknya, meskipun seluruh tubuh dan telapak tangan hingga mata kaki sudah tertutup, tapi bila rambut dan kepalanya masih terbuka, orang akan bilang, itu belum berjilbab. Padahal baju yang dikenakan sama sekali tidak menampilkan garis-garis indah pada tubuhnya.

Kalau demikian, mungkinkah orang yang berjilbab bisa disebut seksi dalam pengertian merangsang birahi pada pandangan mata dan hati? Rasa-rasanya mustahil. Jilbab seksi sepertinya hanya muncul pada kesalahan persepsi kita terhadap orang yang berjilbab, tetapi sebenarnya mereka hanya berkerudung.

Kenapa? Ya, karena meski kepalanya tertutup, tapi lekuk-lekuk indah tubuhnya tetap tergambar jelas dan dapat dinikmati semua orang. Maknanya, jilbab sebenarnya pakaian yang jauh dari “seksi”. Ia lebih sebagai pemelihara suci atau penjaga diri agar saat seseorang memandang, ia tidak keluar dari nalar sehat yang hakiki.

Maka jangan terkejut bila sekarang tidak sedikit orang yang mengukur keimanan seseorang dari cara ia mengenakan jilbabnya. Tak cuma jilbab, tapi kadangkala muncul penilaian keimanan seseorang dari cara ia mengenakan kerudungnya. Seseorang dinilai lebih beriman bila saat mengenakan jilbab, kerudung yang dikenakannya lebih panjang dan mampu menutupi dadanya secara sempurna. Kalau tidak? Ah, pasti imannya rendah.

Tapi, jangan-jangan tak cuma jilbab dan panjang pendek kerudung; bentuk, model, atau bahkan warna nantinya juga akan digunakan sebagai medium penilaian keimanan seseorang. Wah…jadi gawat nantinya! Namun, semudah itukah iman seseorang niscaya diukur dan dinilai?* * *

2 Responses

  1. Keimanan seseorang bukan tergantung panjang pendek jilbabnya, model yang keren, warna yang memikat mata atau seberapa sering mereka mengunjungi mesjid tetapi seberapa besar mereka menyayangi orang lain.

    Betapa mudahnya memanjangkan jenggot seperti nabi Muhammad saw…betapa sulitnya meniru akhlak beliau meski 10%nya saja.

    Salam terbaik
    Bobby Prabawa

    • Kalau orang “universitas” bilang antara keimanan substansial dan artifisial. Keimanan substansial bisa dirasakan, meski susah terlihat. Sebaliknya, keimanan artifisial sangat terlihat di mata, tapi kurang bisa dirasakan. Kesempurnaan iman seseorang -konon- adalah pada diri orang yg mampu memadukan keduanya dalam kehidupan sehari-hari.
      Salam kembali

Leave a comment