“EH, SUDAH PAKAI BIKINI SEGALA…. KALAH LAGI!”

bahamaSengaja judul di atas saya ambil dari celetukan presenter TV Indriarto Priyadi terhadap berita yang dibacakan rekannya Rahma Sarita mengenai kegagalan Zivanna Lethisa Siregar dalam ajang kontes Miss Universe 2009 di di Nassau, Kepulauan Bahama baru-baru ini. Celetukan Indriarto jelas amat multi tafsir. Namun, saya tidak akan memberi tafsir atas celetukan itu. Biarlah celetukan itu bermakna apa adanya, yakni tetap sebagai sebuah celetukan.

Hanya saya berpikir, entah apa yang terjadi pada bangsa kita seandainya Zivanna Letisha Siregar sukses menjadi kampiun dalam ajang Miss Universe 2009 itu. “Untung” Zizi (panggilan akrabnya) gagal meskipun pada awal-awal polling yang dilansir situs resmi ajang lomba kecantikan itu, ia selalu berada di peringkat teratas. Cukup jauh dari pemenang Miss Universe 2009 asal Venezuela, Stefania Fernandez yang hanya diperingkat sembilan.

Saya yakin, seandainya Zizi menang, kita akan kembali mendapati diri kita sebagai bangsa yang hipokrit. Munafik tulen! Tidak akan mungkin terjadi kesepakatan pada masyarakat kita untuk menyambut Zizi secara gebyar dan megah. Keberhasilan Zizi hanya akan dipandang sebelah mata, bahkan -mungkin- oleh para penganjur kebebasan dan kesetaraan gender. Mahkota Zizi menjadi mahkota yang terbelah dua.

Pada satu pihak, pendukung Zizi akan mengelu-ngelukan dirinya sebagai “pahlawan” karena berhasil membawa nama harum bangsa di kancah internasional, bahkan dunia. Pada pihak lain, tidak sedikit orang yang akan mencibir Zizi karena mahkotanya itu tak lebih dari sekadar diperoleh pada ajang pamer tubuh tingkat dunia yang menghalalkan berbikini ria.

Secara tersirat, Zizi menunjukkan bahwa kecantikan perempuan Indonesia tidak kalah dari perempuan bangsa lain di dunia. Perempuan Indonesia setara dengan perempuan dari bangsa pemenang Miss Universe, semacam Venezuela, Kolombia, Meksiko, India, atau malah Thailand. Namun, apa yang bisa dibanggakan dari mahkota Miss Universe, kalau demikian? Bukankah ajang pamer tubuh semacam Miss Universe merupakan perlombaan yang paling purba di muka bumi ini?

Persoalan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Kegagapan pemerintah dan pihak Yayasan Putri Indonesia (YPI) sebagai pemegang “tiket” tunggal pengiriman ke ajang Miss Universe merupakan faktor yang selama ini menjadi biang kekisruhan sehingga terjadi pro-kontra dalam masyarakat. Kedua pihak tidak mampu menunjukkan dirinya sebagai public relation (PR) yang cerdas dalam menenteramkan gejolak “hati” masyarakat kebanyakan.

Pemerintah tidak pernah bertindak tegas melarang warga negaranya tampil dalam ajang Miss Universe. Pemerintah lebih terkesan mencari selamat dengan membiarkan YPI mengirimkan para wakilnya. Saat banyak pihak protes, maka pemerintah menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah merestui kontes-kontes semacam itu. Lepas tangan! Ironisnya, pemerintah tidak sekalipun memberi sanksi kepada YPI meski berkali-kali YPI mengirimkan wakilnya dengan menggunakan nama Indonesia.

MISS UNIVERSE 2008 CROWNYayasan Putri Indonesia (YPI) setali tiga uang. YPI tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya mampu menjelaskan secara gamblang alasan-alasan mendasar kenapa harus mengirimkan wakilnya ke ajang Miss Universe. YPI lebih sering bersembunyi di balik dalih peningkatan pariwisata sebagai manfaat keikutsertaan dalam ajang tersebut .

Benarkah ajang Miss Universe sangat bermanfaat bagi peningkatan pariwisata di negeri kita?

Semua serba sumir, tak jelas. Tidak ada data yang dapat menunjukkan bahwa sekali wakil Indonesia menang dalam kontes Miss Universe, maka pariwisata di negeri kita akan langsung melonjak drastis. Sebaliknya, berkali-kali wakil Indonesia gagal, maka selamanya pariwisata Indonesia tidak akan bisa tumbuh pesat.

Venezuela yang langganan menang kontes Miss Universe saja tidak pernah menggantungkan perekonomian negaranya pada sektor pariwisata. Minyak tetap menjadi gantungan hidup negara pimpinan tokoh kontroversial Hugo Chaves itu. Mereka tahu, sektor pariwisata hanya merupakan sektor tambahan yang menyumbang tidak seberapa pada perekonomian negara.

Namun, yang menolak dengan alasan bahwa ajang Miss Universe yang mempertontonkan tubuh dalam balutan bikini tak sesuai dengan kepribadian bangsa dan adat ketimuran, juga sama kacaunya. Bangsa kita tercinta ini telah lama kehilangan kepribadian dan adatnya. Korupsi, budaya kekerasan, dan sikap intoleransi sudah menjadi kebudayaan baru yang menggusur nilai-nilai kepribadian bangsa yang adiluhung.

Maka, bagi saya, Zizi memang beda dengan Susi Susanti, sang pahlawan bulutangkis kita dahulu, atau Irenne Kharisma sang jenius catur wanita, atau malah para pengumpul medali Olimpiade Sains tingkat dunia. Dalam ukuran yang paling sederhana Susi Susanti, Irenne Kharisma, dan pengumpul medali Olimpiade Sains telah membuat lagu “Indonesia Raya” berkumandang dalam berbagai macam event internasional.

Sedangkan Zizi? Ah, saya benar-benar tak tahu…

Saya tidak tahu apakah lagu “Indonesia Raya” sempat berkumandang atau tidak dalam pergelaran Miss Universe 2009 di Kepulauan Bahama itu. Sebab, kalaupun berkumandang -paling tidak- lagu “Indonesia Raya” tidak dilupakan seperti halnya acara pidato kenegaraan yang dihadiri para petinggi negara kita baru-baru ini. * * *

2 Responses

  1. Baju bikini juga termasuk pakaian daerah mas. Pakaian yang menutupi daerah terlarang..hehe.

Leave a reply to Bobby Prabawa Cancel reply