SUSAHNYA JADI “ORANG SUNDA”

Saya kerapkali merenung kok saya susah sekali belajar bahasa Sunda ya? Jangankan berbicara, mencoba memahami arti dari orang Sunda saat bertutur saja susahnya minta ampun. Nyerah deh! Padahal sudah lebih dari sepuluh tahun saya menjadi penghuni tetap kota Bogor yang -tentu- masuk dalam wilayah kultur Sunda. Jadi, semestinya saya menguasai bahasa Sunda-kan?

Jujur saja, hingga kini tidak banyak perbendaharaan kata-kata dalam bahasa Sunda yang mampu saya kuasai. Bahkan, -seperti umumnya orang-orang yang baru berkenalan dengan bahasa lain- saya lebih mengerti kata-kata kasar serupa umpatan atau cercaan yang kadang muncul dari percakapan mereka. Sia! adalah kata yang paling akrab di telinga saya. Kenapa sia? Karena kata itu selalu diucapkan orang-orang Sunda saat marah atau ngedumel.

Selain sia, kata-kata bahasa Sunda yang cukup familiar dengan saya adalah calik, lungsur, dahar, uwih, dan lain-lain. Memang tidak banyak, bahkan mungkin bisa dihitung dengan jari kata-kata itu. Namun, satu hal yang saya ingat bahwa kata-kata itu akan melekat terus di benak saya bila ia memiliki keterkaitan dengan secuil kehidupan saya, baik di rumah, kantor, maupun jalanan.

Kata lungsur, misalnya. Kata itu saya kenal sejak saya diminta turun secara “sangat sopan” oleh sopir bemo yang ikut ngosan-ngosan karena bemo tuanya tak kuat membawa enam penumpang di jalan tanjakan. Tak ingin bemonya mendadak jebol mesinnya, sopir bemo itu berkata dengan senyum memelas kepada saya. “Maaf, pak. Lungsur sekedap, bemonya nggak kuat!” Lho, kenapa saya? Karena saya dinilai memiliki badan yang lebih besar dibanding penumpang lain yang kebanyakan ibu-ibu.

Kata uwih sama saja. Kata itu melekat kuat dibenak saya karena ada seorang ibu yang selalu menyapa ramah dengan senyum merekah saat saya pulang dari kantor. Sore itu biasanya ibu tersebut sudah berdiri di halaman rumah dan kemudian menyapa. “Uwih, pak….” Saya hanya mengangguk dengan senyum tertahan untuk kemudian menghilang di balik pintu rumah. Merinding! Siapa ibu itu? Saya tidak tahu!

Dalam hati, saya sebenarnya ingin sekali mampu menguasai bahasa Sunda. Saya ingin seperti orang-orang Sunda yang demikian gampang menguasai bahasa Jawa dialek Banyumasan di kampung tempat saya tinggal dulu. Siapa mereka? Mereka adalah para tukang kredit barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti panci, wajan, serok, dan sebagainya.

Tanpa kenal lelah orang-orang itu masuk kampung demi kampung untuk menjajakan barang-barang kreditannya. Sebagian berhasil, meski tidak sedikit yang gagal. Berhasil? Ya! Artinya, setelah sukses menjual barang-barang kreditannya, mereka biasanya mampu membeli toko-toko di pinggir jalan atau pasar sehingga mereka dapat berjualan dengan menetap. Tak hanya itu, mereka juga menikah dengan gadis setempat.

Orang-orang itu biasanya berasal dari Tasikmalaya, Ciamis, atau Garut. Salah satu kekhasan mereka adalah rela meninggalkan bahasa ibu demi bisa bergaul rapat dengan warga “asli” di kampung. Mereka tidak berbahasa Indonesia dalam pergaulannya, apalagi Sunda. Mereka terus mencoba berbahasa Jawa walau dengan cara tertatih-tatih. Apakah ini strategi dagang? Saya tidak berpikir tentang itu!

Saya kini justru berpikir, mereka -dan orang-orang yang seperti mereka- adalah memang orang-orang yang hebat. Mereka mampu memahami dan memaknai falsafah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.” Penguasaan atas bahasa menjadi sebuah keniscayaan bila kita hendak dan ingin melebur ke dalam sebuah tradisi atau kultur setempat.

Namun, di bilik saya yang terdalam muncul juga pertanyaan, apakah karena saya sudah menjadi “manusia Indonesia” sehingga demikian susah menguasai bahasa daerah lain? Lho, mengapa demikian?

Karena saya beberapa kali bertemu dengan para tetua di Bogor yang mengeluhkan minimnya penguasaan atas bahasa Sunda dari generasi mudanya. Mereka lebih akrab dan karib dengan bahasa Indonesia. Bahkan, dalam pandangan para tetua, Bogor tak ubahnya Jakarta. Orang-orang mudanya lebih suka ber-loe gue dibanding ber-abdi anjeun.

Sebagai bagian dari kaum pendatang, saya kadang merasa “berdosa”. Sebab, jangan-jangan orang-orang seperti sayalah -yang tak mampu berbahasa Sunda dan melulu berbahasa Indonesia- yang justru menjadi faktor dominan dari persoalan kenapa orang-orang di Bogor lebih suka berbahasa Indonesia dibanding berbahasa Sunda. Tapi, moga-moga kali ini . . . . saya salah! * * *

9 Responses

  1. Pagi Mas Sigit, ibu saya 30 tahun tinggal di Bogor, keterampilan bahasa Sundanya cuma: ” aya naon (ada apa), kumaha (bagaimana), dan tidak ada yang lainnya. Saya juga nggak terlalu paham bahasa Sunda, sekedar bicara sedikit abdi mah tiasa..:p. Tapi bahasa Padang yang merupakan bahasa kampung asli keluarga saya…saya juga tidak bisa menguasai..hehehe..

    • Bayangin aja kalo kota-kota besar di seluruh Indonesia seperti Jakarta (Jabodetabek), wah jangan-jangan tradisi-tradisi yang bersifat lokal akan hilang dengan sendirinya seiring dengan hilangnya sang pengguna. Jakarta sudah memulai, lalu Depok, Bogor, dsb…. Kalo Yogya, misalnya terus Klaten, Magelang, dsb. Hilang sudah tradisi lokal masyarakat… Jadilah “gombalisasi” ha..ha..ha…

  2. Jangankan pendatang, orang aslinya saja sudah meninggalkan bahasa leluhurnya. Bukan hanya di tatar Sunda, di tlatah Jawa pun banyak anak yang sudah tak mampu lagi berbahasa daerahnya. Ironis

    • Benar, di kampung saya, di Jawa, banyak orang tua yang mendidik anak-anaknya dengan bahasa Indonesia. Mereka sehari-hari di rumah berbahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa. Gak tahu kenapa. Keren dan modern? Mungkin -dalam anggapan mereka-. Akhirnya, bahasa Jawa ditinggalkan.

  3. Saya asli Bogor (Sunda), memang benar kebanyakan orang sunda sendiri sudah meninggalkan bahasa Ibu mereka karena bahasa Kota dipandang Keren dan bertaraf. Tapi, untung bagi saya yang selalu diajarkan dirumah bahasa Sunda yang sopan. Jadi dimanapun saya bertemu Orang Sunda lainnya, saya mudah berinteraksi dengan mereka (dengan rasa bangga). Hatur nuhun…

  4. menguasai berbagai macam bahasa, ciri bangsa yang luar biasa

  5. Trims atas sharing info-nya. Saya asli Sunda dari Ciamis. Sehari-hari pake bahasa Sunda. Jadi menurut saya bahasa Sunda itu mudah kalau selalu digunakan. Saya lihat anak-anak di Ciamis semuanya berbahasa Sunda dengan lancar. Tetapi kalau di kota besar seperti Bandung anak-anak sudah mulai dibiasakan menggunakan bahasa Indonesia jadi kemampuan bahasa Sunda nya berkurang.

  6. Menurut saya bahasa daerah perlu dilestarikan jangan sampai hilang. Sebaiknya ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang melindungi bahasa daerah.

Leave a reply to Sigit Widiantoro Cancel reply